Jumat, 24 Februari 2012

PERLUKAH KITA MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI


Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya setiap tahun masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah SAW., berbicara tentang kondisi komtemporer saat ini. Betapa tidak, hampir mayoritas ummat ini merayakan datangnya Tahun baru Masehi tersebut persis dengan apa yang dilakukan pemilik hari besar tersebut, yaitu Kaum Yahudi. Anehnya, hal ini banyak pula dilakukan oleh kaum Nasrani.


Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwasanya Nabi SAW,. Bersabda, “ Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andai mereka masuk lubang semutpun, niscaya kalian akan memasukinya juga “. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nasrani ?”. Beliau bersabda, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)”. (Hr. Al-Bukhari).
Perayaan yang isinya hura-hura, kemaksiatan dan pemubadziran dilakukan dihampir seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang Tua. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun; berpesta pora, lelap dalam gegap-gempita serta hiruk-pikuk musik yang menggila. Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai mode yang ada.
Bila melihat nama, sepertinya memperingati dan merayakan Tahun baru Masehi identik dengan tahunnya orang-orang Nasrani saja. Tetapi sebenarnya, Perayaan Tahun Baru tersebut merupakan bagian dari aktifitas ritual agama Yahudi dan Majusi (yang disebut dengan an-Nayruz). Oleh karena itu, merekalah sebenarnya yang memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum Nasrani apalagi kaum Muslimin.
Dalam Islam, hanya dikenal tiga hari besar (‘ied) yang memang disyariatkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Satu lagi, bersifat mingguan, yaitu hari Jum’at. Selain tiga hari besar ini, tidak dikenal peringatan atau perayaan hari besar lainnya, apalagi bila perayaan ini identik dengan agama selain Islam.
Yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari ummat Islam didalamnya; kenapa mereka ikut merayakan dan memeriahkannya juga ?    Tidak tahukah bahwa perayaan itu khusus untuk non Muslim, khususnya kaum Yahudi dan Majusi ? Tahukah bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran agama ?
Tentu kita sangat prihatin terhadap kondisi ummat yang semakin lama semakin terkikis ‘aqidahnya, sedikit demi sedikit sebagaimana yang disinyalir didalam Hadits Nabi diatas.
Setidaknya ada dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, pertama, kurangnya ilmu sebagian besar ummat Islam akan ajarannya. Kedua, kurangnya kontrol para Ulama, khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.
Proses pembelajaran selama ini hanya bertumpu kepada acara-acara seremonial. Rujukan-rujukan yang digunakan dari sisi materi kurang memberikan tekanan kepada pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat) sementara dari sisi otentititas dan validitas kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali Hadits-hadits yang dijadikan sebagai Hujjah sangat lemah kualitasnya bahkan maudlu’ (palsu).
Ummat yang awam hanya mengerti bahwa acara-acara seremonial semacam ini adalah bagian dari Agama yang mereka anggap “wajib” dilakoni dari masa kemasa secara turun-temurun. Terlepas apakah itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui Hadits Shahih atau tidak. Apalagi bila dinyatakan tenteng rujukannya, logika berfikir hanya menjawab bahwa hal itu “memang dari sononya”. “Terbiasa dengan Taqlid buta”.
Selain acara-acara seremonial tersebut, memang banyak sekali diadakan majelis-majelis Ta’lim tetapi amat disayangkan bahwa bobot materinya kurang berimbang. Sangat sedikit untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah didalamnya menyentuh sisi Aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut. Yang sering disuguhkan “hanyalah” masalah dzikir nasional,  (pahala ibadah yang ini sekian dan yang itu sekian) padahal hadits-hadits yang digunakan sebagai Hujjahnya sebagian besar Dlaif (lemah) bahkan maudu’.
Dengan posisi seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk memberikan pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada ummat sebab ummat yang awam hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya dari rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak mereka akan mempertanggungjawabkan hal ini dihadapan Allah SWT.
Sudah sepantasnya para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada Hadits yang Shahih. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan :”Bila Hadits itu Shahih, maka itulah Madzhabku”. Imam Ahmad berkata : “Janganlah kalian mentaqlidiku, jangan pula mentaqlidi Malik, Asy-Syafi’i, Al-Awza’i dan Ats-Tsawry tetapi ambilah darimana mereka mengambil”. Imam Malik berkata : “Tidak seorangpun setelah (wafatnya) Nabi SAW., kecuali pendapatnya diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi SAW.” Para Imam ini melarang ummat dan pengikutnya men-Taqlid  mereka secara buta bahkan salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali ucapannya, “Haram bagi siapa yang tidak  mengetahui Dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku”.
Bilamana pemurnian aqidah dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut lebih difokuskan tentu kejahilan ummat akan ajaran agamanya akan dapat teratasi dan terkikis sehingga perayaan semacam “Natal Bersama” “Valentine Days”, Tahun Baru (Happy New Year)” dan sebagainya tidak akan mampu membuai dan menggoyahkan ‘aqidah mereka.
Terdapat korelasi yang jelas antara Hadits diatas dengan Hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum. Dalam Hadits diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa ummat ini akan mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang yahudi dan Nasrani. Maka, didalam mengikuti cara mereka tersebut terdapat penyerupaan didalam banyak hal.
Al-Qary mengatakan, “Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang kafir, misalnya didalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan orang-orang fasiq, ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang lurus dan baik, maka dia adalah bagian dari mereka, yakni didalam mendapatkan dosa atau kebaikan/pahala.
Imam Al-Munawy dan Al-‘Alqamy mengomentari makna “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, yakni secara zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian mereka, mengikuti gaya hidup dan petunjuk mereka didalam berpakaian serta sebagian perbuatan  mareka”.
Dalam Hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar kita jangan menyerupai suatu kaum, terutama sekali terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, diantaranya sabda beliau, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka”.
Dalam hal ini, tentu saja fenomena merayakan Tahun Baru tersebut masuk kedalam kategori larangan Tasyabbuh.
Tidak ada cara lain bagi kita kecuali dengan membentengi diri dengan ‘Aqidah yang benar sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai, mengotori apalagi menggoyahkannya. Peranan orang tuapun sangat penting dalam mengarahkan pendidikan agama yang memadai bagi anak-anaknya terutama penekanan sisi aqidah. Tidak hanya menjadi komandan ditengah keluarga namun hendaknya menjadi seorang imam dan suri tauladan yang baik.
Bagi sebagaian orang “Tahun Baru” adalah salah satu momen yang mengingatkan bahwa jatah semakin usia semakin berkurang. Padahal setiap haripun, setiap jam, menit dan detik jatah usia memang terus berkurang, kematian semakin dekat, tamu terakhir sebentar lagi datang. Sudahkah mempersiapkan diri menghadapinya.
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kamu, siapakah yang paling banyak amalnya”. (QS. Al Mulk : 2).
Waktu adalah kesempatan hidup, kesempatan kita untuk beramal, untuk beribadah karena kita memang diciptakan untuk Beribadah (QS. Adz-dzariat :56). Untuk urusan bisnis dan kerja, sering orang membuat suatu target pencapaian dan perencanaan yang begitu matang. Namun sudahkah kita membuat suatu perencanaan dan Target untuk Beribadah.
$pkšr'¯»tƒ  šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
“  Hai orang - orang  yang beriman, bertakwalah  kepada  Allah  dan  hendaklah  Setiap  diri memperhatikan  apa yang  telah diperbuatnya untuk hari  esok ( akhirat );   dan  bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hasyr :18).
Menurut Toto Tasmara dalam bukunya “Kecerdasan Ruhaniah”, bahwa orang yang menghayati ayat tersebut adalah  orang yang mempunyai visi, yang mempunyai gambaran masa depan. Mereka menjadikan masa lalu sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk membuat rencana yang lebih cermat.
Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa maksud kalimat “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”, hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang sudah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal saleh, untuk hari dimana kamu akan kembali dan berhadapan dengan Tuhan kamu.
Sudahkah kita mlihat dan meneliti apa yang teklah kita lakukan dan membuat rencana kedepan agar lebih baik. Banyak orang yang menyatakan (terlepas dia seorang yang awam terhadap agama atau mereka yang memang faham akan agama), mereka menyatakan, “ingat tahun ini harus lebih dari tahun lalu.
“ Ya Allah”. Anugerahkan kepada kami kecintaan terhadap Iman, dan anugerahilah kepada kami kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara orang-orang yang mendapat petunjuk dan senantiasa bergesa atas panggilan dan perintah-MU”.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah SWT, dan senantiasa dibimbing kejalan yang diridlai oelhNya. Amien....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar